OPINI: Impor Beras Versus Penopang Produksi Beras Disaat El Nino
Oleh: Syamsul Rahman (Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar (UIM) Al-Gazali)
Impor bahan pangan Indonesia terutama komoditi beras di tahun 2023 mengalami peningkatan 2 kali lipat. Misalnya untuk 5 komoditas utama yaitu beras, gula, bawang putih, daging lembu dan jagung, nilai impornya mencapai US $ 6,61 milyar atau setara dengan Rp 107,67 trilliun (kurs Rp 16.289). Sedangkan untuk tahun 2024 ini, pemerintah sudah menetapkan impor bahan pangan sebesar 12.437.218 ton, terdiri dari 5 komoditas tersebut diatas. Keputusan ini ditetapkan dalam Sistem Nasional Neraca Komoditas (SINAS NK) yang diputuskan melalui rapat terbatas oleh pemerintah. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius untuk dapat mengatasi lonjakan impor pangan Indonesia. Karena selain akan semakin memberatkan keuangan negara, juga akan menjadikan petani Indonesia terpuruk karena head to head dengan petani di Argentina, Thailand, Brasil dan negara lainnya sebagai sumber impor bahan pangan Indonesia. Hal lain yang menjadi persoalan terkait ketersediaan bahan pangan kita, terutama komoditi beras adalah prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa akan terjadi El Nino. Menurut Menteri Pertanian, Amran Sulaeman bahwa ada dua jenis bahan pangan strategis yang bakal masuk dalam kondisi kritis disaat El Nino melanda yaitu beras dan jagung..
Saat El Nino Melanda
Berdasarkan kajian ilmiah, El Nino umumnya berdampak pada berkurangnya curah hujan di Indonesia. Dampak El Nino tergantung pada intensitas El Nino, durasi El Nino, dan musim yang sedang berlangsung. Dampak El Nino di Indonesia umumnya terasa kuat pada musim kemarau yaitu pada bulan-bulan Juli – Agustus – September – Oktober. Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan kewaspadaan pada bulan-bulan tersebut. Terlebih lagi, ada banyak wilayah di Indonesia yang akan memasuki puncak musim kemarau pada bulan-bulan tersebut.
Berdasarkan prediksi curah hujan bulanan BMKG, beberapa wilayah akan mengalami curah hujan bulanan dengan kategori rendah (0 – 100 mm/bulan), utamanya pada Agustus – September – Oktober, meliputi Sumatera bagian tengah hingga selatan, pulau Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, sebagian besar Sulawesi, sebagian Maluku Utara, sebagian Maluku dan Papua bagian selatan.
BMKG juga memperkirakan durasi musim kemarau 2024 di sebagian besar wilayah, yakni di 447 zona musim (ZOM) atau 63,95 persen dari total ZOM, lebih pendek atau terjadi selama 3 – 15 dasarian (1 – 5 bualan). Umumnya, durasi priode musim kemarau terjadi selama 13 – 15 dasarian (4 – 5 bulan) dengan durasi maksimal 22 dasarian (7 bulan). Kondisi ini tentu akan berdampak pada menurunnya produksi beras yang semula diperkirakan sebesar 1,5 juta ton tahun ini berpotensi berkurang menjadi 0,6 juta ton.
Penopang Produksi Beras
Menurut Dwi Andreas Santoso, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, bahwa kondisi musim kemarau tahun 2024 berpotensi mengikis proyeksi penurunan produksi beras. Namun sejumlah faktor penopang produksi beras harus dipahami dan dijaga dengan baik. Pertama, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani perlu dijaga minimal sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) yakni Rp 6.000 per kg. Dengan begitu petani pasti akan lebih semangat menanam padi kendati musim kemarau di sejumlah daerah datang lebih awal. Mereka pasti akan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan air, walau disaat kemarau melanda; dan Kedua, musim kemarau normal dan lebih basah akan menguntungkan daerah-daerah pertanian irigasi atau dekat sumber-sumber air, seperti sungai, danau dan embung. Misalnya daerah pertanian yang bergantung pada sumber air non irigasi, sehingga bantuan pompa air sangat diperlukan. Upaya ini penting mengingat musim tanam (MT) II padi di banyak daerah baru berlangsung pada Juni 2024 atau memasuki awal musim kemarau, hal itu terjadi lantaran MT I dan musim panen MT I mundur.
Di sisi lain, kondisi kemarau tahun ini tetap akan menyulitkan petani penggarap swah tadah hujan. Kendati curah hujan pada musim kemarau di daerah tersebut di atas normal, air hujan itu tidak akan cukup menjadi sumber air sawah tadah hujan. Di samping itu, perlu mencermati juga daerah-daerah sentra produksi beras yang masih mengalami hujan lebat di tengah peralihan musim. Antisipasi banjir perlu dilakukan agar tidak menunggu produksi beras di daerah-daerah tersebut.
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Pertanian perlu memetakan daerah-daerah pertanian berdasarkaan karakter kemaraunya. Kemudian, setelah terpetakan baru berfokus pada menggenjot produksi beras di daerah-daerah dengan sumber air yang masih mencukupi. Selain itu, harus disesuaaikan juga dengan pemberian bantuan-bantuan sarana dan prasarana pertanian sesuai kebutuhan daerah-daaerah tersebut. Tapi jangan sampai pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (Alsintan) berupa pompa air salah sasaran atau diterima petani di daerah yang tidak ada sumber air. Termasuk, bagi petani yang sudah memiliki pompa air, bisa juga diberikan bantuan bahan bakar minyak (BBM) untuk dapat mengoperasikan pompa airnya dalam rangka mengairi sawahnya. (syrn)